Dampak Program 3 Juta Rumah pada Penjualan Properti

Mengupas Tantangan Pengembang di Tengah Program Rumah Gratis dan Wacana Kenaikan PPN

Industri properti di Indonesia tengah menghadapi tantangan baru akibat program pemerintah yang menargetkan pembangunan 3 juta rumah. Kalangan pengembang mengungkapkan banyak calon pembeli membatalkan pembayaran down payment (DP) atau tanda jadi rumah karena asumsi rumah tersebut gratis, mengakibatkan menurunnya penjualan properti. Hal ini berdampak pada rendahnya penyerapan unit properti tertentu.

“Sebenarnya itu asumsi aja kalau dikira gratis. Padahal nggak mungkin gratis. Modal satu rumah aja itu sudah berapa ratus juta ya. Jadi nggak murni, 3 juta rumah itu menunda pembelian hanya karena psikologis,” ujar Associate Director Leads Property, Martin Samuel Hutapea, dalam wawancaranya dengan propertikini.com.

Martin menambahkan bahwa dampak ini terutama dirasakan oleh pengembang yang fokus pada rumah subsidi. Mereka harus menghadapi tekanan dari pembatalan sepihak konsumen, sementara pengembang besar seperti Ciputra tidak terlalu terpengaruh.

“Terutama untuk developer yang mengkhususkan diri membangun rumah subsidi, mereka pasti akan berpengaruh. Tapi pengembang yang fokusnya rumah menengah bawah dan subsidi itu pasti terpengaruh. Banyak konsumen yang menunda-nunda,” tambahnya.

Penjualan rumah diprediksi semakin tertekan apabila pemerintah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% tanpa memperpanjang insentif PPN ditanggung pemerintah (PPN DTP) yang berlaku hingga Desember 2024. Martin memperkirakan penyerapan unit rumah bisa turun hingga 10-15% jika insentif PPN dan BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) tidak diperpanjang.

“Menurut saya, penyerapan bisa turun 10-15 persen kalau PPN naik dan tidak ada insentif. Jadi, perlu PPN DTP 11 persen plus 5 persen BPHTB ditanggung pemerintah,” sebut Martin.

Ia juga menyoroti harga rumah yang semakin mahal sebagai faktor lain yang memperlambat penjualan. Saat ini, harga rumah berkisar di Rp 2 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan periode 2021-2022 ketika penjualan properti masih lebih kuat.

“Terus terang, saat 2021-2022 penjualan kencang karena unit price masih di level Rp 1 miliar. Tapi sekarang harga Rp 2 miliar membuat penyerapan melambat. Banyak calon pembeli yang memilih lokasi lain seperti BSD jika harus membayar harga tersebut,” kata Martin.

Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI), Joko Suranto, mengungkapkan bahwa program 3 juta rumah bersubsidi per tahun membuat masyarakat berharap mendapatkan rumah secara gratis. Akibatnya, banyak calon pembeli yang membatalkan pembelian unit properti setelah mendengar informasi tersebut.

“Rumah gratis itu membingungkan pengembang. Banyak calon konsumen membatalkan booking setelah omongan rumah gratis itu. Dari 10 booking, ada 1-3 yang dibatalkan,” ujar Joko.

Joko juga menekankan bahwa asumsi rumah gratis dapat memberikan efek besar terhadap industri properti. Banyak calon pembeli memilih menunda atau membatalkan pembelian properti, sehingga memengaruhi alur keuangan pengembang.

“Ketika industri properti disampaikan ini rumah gratis, maka kami-kami ini (pengembang) akan bubar. Efeknya besar karena orang akan tidak jadi beli atau menunda beli karena dengar ada rumah gratis,” tegasnya.

Tantangan yang dihadapi oleh pengembang properti saat ini menuntut kebijakan yang lebih jelas dari pemerintah. Program 3 juta rumah dan wacana kenaikan PPN harus dikelola dengan baik agar tidak memicu ketidakstabilan di sektor properti. Dukungan berupa insentif pajak seperti PPN DTP dan BPHTB dapat membantu mengurangi beban pengembang sekaligus mendorong minat masyarakat untuk memiliki rumah di tengah persaingan harga yang semakin ketat.